potretan kecilku :D

ting tung :v

Disiplin , Berani, dan Setia




Yap, tepat pada tanggal 23 Maret 2013 hari Sabtu, sebagian besar dari murid-murid dari MAN 1 Yogyakarta mengikuti salah satu kegiatan pramuka yang maha atau besar itu. Mengapa aku katakan  besar? Ya, karena acara ini merupakan ujung dari kegiatan pramuka di kelas 10 pada kali ini. Kalian tau gak, acara yang aku sindir-sindir dari tadi ini? Eeeemh, pasti kalian tau acara yang aku maksud.
Oya tadi aku di atas bicara kalau hanya sebagian besar murid saja yang mengikuti kegiatan ini. Tahu kenapa? *Gak tau? Mau ku kasih tau gak? Gak mau? Ya sudah*. Jadi gini, karena acara yang satu ini, bertabrakan dengan salah satu kegiatan sekolah juga. *sindir kegiatan ini yang berinisialkan “OSN”*. Jadi tidak semua murid kelas 10 tidak dapat mengikuti kegiatan ini (Mahabhakti). Padahal kan mahabhakti merupakan salah satu kegiatan pramuka yang hukumnya wajib untuk diikuti oleh semua murid kelas 10. Tapi apa daya tangan tak sampai memeluk gunung. Bagi teman-teman yang sudah tersaring untuk mengikuti OSN tidak dapat berpaling dari OSN itu. Sebenarnya aku sudah kembung dengan cerita hal yang bersangkut paut dengan OSN ini. Tapi bagaimana, dengan adanya hal itu anggota di sangga saya berkurang dua manusia. Jadilah kita berlima berjuang dan melewati empat hari dan menikmati malam di tenda itu dengan beranggotakan lima wanita saja.
Sebelumnya aku akan memperkenalkan anggota sanggaku yang sesungguhnya. Pada awalnya kita bertujuh, dengan personil Nisa, Karlina, Linda, Lika, Norma, aku sendiri (Nurul), dan Ries. Dan sebelum jatuh tepat pada hari kita melaksanakan Mahabhakti dua orang lengser karena terjaring dalam OSN. Manusia-manusia itu bernama Nisa dan Linda. Oke tak apalah hanya dua orang yang menghilang dengan sebab yang jelas itu. Dengan berkurangnya anggota sanggaku itu, pada awalnya aku berpikiran dan membayangkan aku tidak bisa melewati hari-hari ketika kemah dengan baik. Ketika tekhnikal meeting kedua badanku terasa seperti berdampingan dengan tungku api yang merebus kedelai-kedelai calon tempe. Setelah meeting itu selesai, semua orang hilang seketika. Kecuali aku yang duduk sendirian di bagian belakang kelas sembari merundukkan badan dan kepalaku yang terasa seperti tertindih tumpukan buku PR yang sangat banyak. Aku memikirkan sesuatu waktu itu, sampai-sampai ada salah seorang berpostur badan tinggi, dan menggunakan tas hitam yang melekat pada badannya lalu menghampiri aku. Dia adalah kakak kelas. Dia sekarang kelas 11 dan masuk dijurusan 11 ipa 3. “Dek, kamu kenapa? Sakit po?”. Pertanyaan itu tidakku gagas sama sekali, “Dek? Ayolah dek, kamu pasti bisa menjalani Mahabhakti, walaupun cuma lima orang aja”. Ya, dia sudah paham akan masalah yang merundungku pada saat itu, karena aku kerap kali bertukar pikiran dengan dia. Aku pun perlahan-perlahan menegakkan badan, dan mulai memperhatikan suara yang telah melintas di telingaku itu. “Emmmh, gimana ya? Kok aku ketoke gak bersemangat buat ikut kemah kali ini ya?”. Masa dengan masalah kaya gini aja, kamu udah lemes kaya gini dek? Kamu gak malu po sama temen-temenmu yang lain? Nurul kan udah gede. Pasti kamu bisa ngehadepin hal sepele kaya gini dek! Ni ya kukasih tau, ada satu sangga yang cuma empat orang lho dek. Mereka malah bisa lebih semangat daripada kamu. Kamu mending punya anggota lima orang”. Suara-suara itu terus terngiang dan terus melintas di otak dan telingaku. Aku pun merasa tiba-tiba ada energi positif yang merasuki tubuh yang tak berdaya ini dan kekurangan semangat ini. “Bener juga sih, ya aku coba buat kembali semangat lagi kak”. Dengan masih ketidak percayaan dengan kata-kata dia bahwa ada sangga yang beranggotakan empat orang itu. Sedikit malu-malu, aku bertanya lagi dan untuk mempertegas kenyataan itu. “Kak beneran ada yang empat orang doang?” “Iya dek, kakak gak bohong”. Lalu kucoba untuk tersenyum kembali atas jawaban yang telah diucapkan dia. “Nah, dari tadi gitu lho senyum. Kan jadi enak dilihatnya”. Dasar kak Vinna, sukanya seperti itu. Yup, nama dia adalah kak Vinna.
*sampai mana nih aku lupa*. Oya, aku langsung lanjutkan cerita yang tadi ya. Nah, tiba saatnya kita untuk pergi ke tempat perkemahan di daerah Waduk Sermo, Kulon Progo. Setelah semuanya beres, aku berangkat ke madrasah pada kurang lebih pukul enam pagi. Semua telah kumpul dan sebelum kami diberangkatkan ke tempat kemah ada acara upacara pemberangkatan yang diikuti oleh seluruh warga sekolah *ya enggaklah, gila aja*. Upacara pemberangkatan dipimpin oleh kepala madrasah yaitu bapak Imam Suja’i Fadly. Upacara berjalan dengan khidmat. Setelah upacara selesai truk-truk atau mobil dari kepolisian mulai berdatangan untuk menangkap anak yang bersalah *enggak deng bercanda*. Kita menuju ke tempat perkemahan menggunakan truk-truk itu. Dan anak-anak yang sakit atau mempunyai riwayat hidup sakit asma, dan sejenisnya diangkut menggunakan bus. Lalu kami dan ada beberapa dari kelas lain masuk ke dalam truk. Aku dan teman-teman sekelasku masuk truk terlebih dahulu, karena aku dan teman-temanku mengira-ira bahwa nanti pasti nanti kita akan dapat angin yang berhembus sangat kencang jika kita di posisi yang paling depan. Dan setelah beberapa menit kita masuk dan menetap di dalam truk, perkiraan kita melenceng . Hawa di bagian paling depan sangatlah pengap. Ya bagaimana lagi kita tidak bisa berpindah tempat lagi karena sudah sangat berdesak-desakan. Dan jadilah aku dan salah seorang temanku *ha? Temanku? Iya gak ya?*, ya aku sama si Laras hanya bisa bergumam karena kepanasan dan merasa sangat pengap di sana. “Rul, tau gini tadi kita di bagian paling belakang ya? Panaas banget di sini”. “Huhuhu ho.o Ras, tadi siapa yang ngajak di depan hayoo?” “Loh bukannya tadi kesepakatan kita ya Rul? Kalau kita harus di depan? Wah kamu kok labile Rul?” “Oh iya deng, aku lupa Ras. Hehehee :p”. Padahal sebenarnya aku ingat perkataanku tadi, aku pura-pura lupa supaya tidak diperpanjang oleh Laras, hehe :p.
Subhanallah, setelah truknya berjalan angin pun mulai berperan dan menghembus ke pakaian pramuka kita. “Waaa, ini ni Ras, siliir to Ras.” . “Yaiyalah kalo truknya udah jalan emang silir Rul”, jawab Laras dengan agak sewot. Di sepanjang perjalanan kita terus bercanda. Oya kita satu truk dengan pradana Alibasyah dan pradana Ratnaningsih lho. Kalian tahu tidak siapa pradana AB dan RN kita? Mau tahu tidak? Oke terpaksaku kasih tahu ni *hehehe. Nama pradana Alibasyah kita adalah kak Pandu Rijal Pasa, dan kakak pradana Ratnaningsih adalah kak Vinna Amaluna. J Keren gak tu satu truk sama mereka? *enggak ah biasa aja. *yaudah. Setelah beberapa hari perjalanan *halah alay* , setelah beberapa jam kemudian sampailah kita di lapangan, yang nantinya dilanjutkan dengan perjalanan bhakti untuk menuju ke buper kita. Hari demi hari, jam demi jam, detik demi detik, tanggal 23,24, Maret 2013 sudah kita lewati bersama dengan kegilaan yang ikut meramaikan suasana di perkemahan pada waktu itu. Tanggal 25 pun datang menghampiri kita semua. Aku menyambut tanggal 25 itu dengan perasaan senang dicampur deg-degan. Kenapa? Ya karena nanti malam merupakan acara puncak dari kegiatan Mahabhakti ini. Yaitu acara api unggun, yang didalam rangkaian acara itu ada penyalaan 10 api dasadharma. Dan aku adalah salah satu manusia yang beruntung menjadi pembaca salah satu dari 10 dasadharma itu. Pada hari itu kegiatannya tidak terlalu padat seperti hari-hari biasannya. Pada siang harinya kami DA (dewan ambalan) perempuan kelas 10, bersantai di dekat jurang, dan duduk di bawah pohon yang sedikit rindang, tetapi mampu membuat suasana menjadi sejuk J. Sejauh mata memandang, terlihat gundukan-gundukan gunung yang dilebati oleh pohon-pohon yang masih bewarna hijau itu. Itulah salah satu bumbu yang membuat kita betah untuk berlama-lama duduk dan bersantai di sana. DA perempuan kelas 10 ada enam orang saja, yaitu saya sendiri, kak Grandis, Lisfy, Agnes, Diah, dan kak Putri. Di tengah-tengah kita bercurhat ria di sana (kita curhat tanpa kak Agnes), datanglah kakak purna yang maha Purwa *apa itu?* (paling berumur) menghampiri kita yang tujuan awalnya kakak ini ingin datang ke perkumpulan para dewan anggota kerja. Tetapi kakak ini malah ikut ngobrol dan curhat bersama kita. Beliau adalah kak Ilham, yang kerap kita sapa dengan sapaan kak Il. “Loh ngapain kalian di sini? Gak masak po?” tanya kak Il ke kita. Aku pun menjawab pertanyaan satu itu “ enggak kak, nanti kita masaknya, kita sekarang santai dulu..”. Loh kak Il, kok jadi ikut-ikutan nongkrong di sini kak? Gak rapat po kak sama sangker?” tanyaku dengan rasa yang penuh keingin tahuanku ini *kepo :p*. “Emangnya gak boleh?” balas kak Il dengan nada yang khas yang kaya anak kecil itu. “hahahahaha, ho.o emang gak boleh Rul?” semua temanku jadi ikut ngejek aku. Dan secara spontan kak Il mengeluarkan jurus andalannya ketika itu. Yaitu nge bully kita yang ada di situ. Korban sasaran yang paling utama adalah aku. “Rul, Pasa mana Rul? Kok gak da di sini?” goda kak Il ke aku. “cieeeee..” tambah semua teman-temanku. “Loh? Kok tanya aku kak? Ya aku nggak tahulah kak”. Jawabku dengan polos *memang aku tidak tahu posisi mas Pasa di mana*. “Haaalah, di mana Rul?”. Aku pun hanya bisa diam saja. Lalu korban selanjutnya adalah kak Grandis. “Ndis, Asyrof mana Ndis?”, dengan cara khasnya Grandis menjawab dengan senyum-senyum malu “yo manaku tau kak.” Dan tanpa di sangka-sangka mas Pasa lewat dan dipanggilah dia oleh kak Il agar duduk bersama kita. Nah, semakin menjadi-jadilah bullyan kak Il dan semua teman-temanku ke aku. Lalu kak Il memanggil mas Pasa dengan kebasa-basiannya itu, “ Sa Pasa, sini dulu.” Lalu mas Pasa dengan polos dan santainya memenuhi panggilan kak Il itu. Di dalam hati aku bergumam “haduuuh mas Pasa kenapa mau dateng dengan panggilannya kak Il itu sih? Padahal itu panggilan gak penting sih (-_-). “Apa kak? “ tanya mas Pasa ke kak Il. “Enggak gak papa, kamu mau kemana Pas, udah duduk sini dulu sama kita.” “Aku mau ke sana kak”. “Rul, ini lho kak Pasa, udah di sini.” Aku hanya memandang pemandangan yang sangat indah dihadapan mataku. Tak kuhiraukan perkataan kak Il. Mas Pasa pun pergi.
Setelah banyak obrolan yang telah kita lalui, adzan dzuhur pun berkumandang. Kami langsung putuskan untuk pergi sholat berjamaah di pendopo bawah dekat dengan tempat didirikannya tenda milik sangga yang Alibasyah. Setelah sholat dzuhur kami putuskan untuk pergi ketendanya masing-masing untuk makan siang. Aku beruntung tendaku dekat dengan tenda milik Grandis. Hanya terpisah satu tanjakan dan terhalang oleh satu tenda milik Agnes. Aku pun mengajukan usul ke Grandis agar kita makan siang bersama. Karena anggota sanggaku dan sangganya Grandis sudah makan siang semua, kecuali kita berdua. “Ndis, kita makan siangnya barengan yuuk?” “Ya ayo, tapi kita mau makan pakai apa Rul?” “Mbikin mie aja Ndis, tapi nanti kita makannya satu piring berdua ya? *kurang romantis apa coba*. “Oke Rul, tapi kamu nyumbangin mie mu juga ya?” “pastilah Ndis”. Setelah mie goreng kita matang, kita langsung bingung terus kita tinggal tidur . *ya enggaklah*. Kita bingung mau makan di mana. *ribet banget ya kita*. “Rul, kita makan di depan tenda mu aja gimana?” “oke, ayok ke atas” jawabku. Setelah sampai di atas, “waah Ndis, panas banget je. Kita cari tempat yang agak teduhan yok?” “iya Rul, panas di sini”. Kita berjalanlah mencari tempat untuk posisi makan tempat duduk kita. Setelah berjam-jam *alay*, setelah sekian lama kita mencari tempat akhirnya kami menemukan tempat yang sangat romantis untuk kita berdua singgahi *hahaha :D*. “Ndis, kalau kita di sana aja gimana?” “Boleh juga Rul? Tapi nanti kita diliatin sama orang-orang gak ya Rul?” “Halah, gak papa cuma diliatin kok”. Yap, kami sudah putuskan untuk duduk dan makan siang bareng di samping wisma kosong itu. Karena tenda kami lumayan dekat dengan wisma itu. Lalu kami menikmati mie goreng itu, di dekat jendela wisma yang lumayan besar itu. Ketika aku dan Grandis makan, aku iseng menengok ke dalam wisma itu lewat jendela yang berada persis di samping kiriku. Di dalam wisma itu tampak banyak orang yang berlalu lalang, dan ada yang menyapaku. *Gila, orang di sana kosong kok hehe :p*. Setelah kita menyelesaikan makan siang kita yang mewah itu :p, kita langsung tancap gas untuk balik ke tenda dan mencuci piring. Setelah kita selesai, aku bermain ke tendanya Grandis untuk meminta sedikit air putihnya, karena aku ingin membuat minuman, “Rul, ayo kita ke samping jurang sambil minum-minuman kita?” “Oke siap..”. Sepertinnya seru juga usulan Grandis itu. Di sana curhatlah Grandis ke aku tentang teman dekatnya Grandis. Aku simak dengan telinga lebar-lebar curhatan Grandis itu. Aku beri masukan, kritik dan saran ke Grandis. Tiba-tiba lewat speaker ruang kesekretariatan mengumumkan suatu pengumuman yang terpampang nyata *lagak Syahrini bercakap*, “Panggilan untuk Grandis, Nurul, Lisfy, Putri, Diah, Adit, Hilman, Rausan, dan Yorici untuk segera berkumpul di lapangan “. Pengumuman itu diucapkan sebanyak dua kali. Aku boleh jujur? Aku merasa senang dan bangga namaku bisa disebutkan di sana *alay biarin*. Aku dan Grandis yang sedang sibuk bercengkrama di dekat jurang, sedikit kaget atas pengumuman itu. Kami pun bergegas menuju lapangan. Setelah kami bersepuluh berkumpul semua, kak Il mulai menjelaskan bagaimana tata cara upacara nanti malam. Oya sebelum aku lanjutin, kalian tahu tidak mengapa kita 10 orang ini dipanggil ke lapangan? Buat dihukum karena kami melakukan kesalahan *ya tidaklah*. Kami 10 orang dipanggil ke lapangan karena nanti malam adalah acara puncaknya, yaitu acara api unggun dan penyalaan 10 api dasadharma *yuhuuu* .
Setelah tekhnikal berlangung sebentar, tiba-tiba suara adzan berkumandang. Kak Il putuskan dan menganjurkan kepada kami agar kita melaksanakan sholat ashar terlebih dahulu, dan kemudian kembali berkumpul di lapangan lagi. *Setelah semua selesai sholat*, “Ya tidak usah panjang lebar lagi, sekarang kalian akan berlatih upacara penyalaan 10 api dasadharma, yang akan dilatih langsung oleh kak Dicky ”. “Wooow..”. Semua serentak mengucapkan seperti itu. Kak Dicky pun tiba, “Ya sekarang saya akan membagi masing-masing satu dasadharma kepada kalian”, setelah semua dapat satu dasadharma itu semua langsung disuruh berlatih untuk mengucapkan dasadharma itu dengan lantang dan keras. Dan saya mendapatkan dasadharma ke 11. *Gimana coba bunyinya?*. Ya, tidak adalah dasadharma ke-11. Namanya saja dasadharma. Dasa yang artinya di dalam bahasa jawa, sedasa sama dengan 10. Jadi dasadharma adanya ya hanya 10, 10 dasadharma. Kalau sampai sebelas namanya bukan dasadharma dong, kira-kira nanti kalau berubah jadi 11, namanya jadi apa ya? Ya, yang pastinya bukan dasadharma lagi, hehe :p. *oke lanjut*. Aku mendapatkan bagian dasadharma ke delapan, yang bunyinya “DISIPLIN, BERANI, dan SETIA”. *wuuush*, keren sekali kata-kata itu. Aku berlatih ucapkan kata-kata itu secara berulang-ulang dan sangat lantang. *Harus lantang dan keras*, karena nanti kita mengucapkan kata-kata itu tanpa pengeras suara. Selang beberapa menit kemudian, tiba-tiba kak Dicky memberhentikan kami semua untuk berlatih, “Yak, berhenti. Sekarang saya akan beri waktu buat kalian mengganti pakaian kalian dengan pakaian pramuka lengkap dan rapi. Saya akan beri waktu 10 menit, mulai dari sekarang!”. Tanpa komentar, tanpa basa-basi lagi, tanpa bercakap-cakap dengan teman, kami secepat kilat yang menyambar bumi, menyebar ke tenda masing-masing untuk mengganti pakaian kita. Aku pun berusaha secepat mungkin untuk sampai ke tenda, setelah sampai di tenda, kuserobot pakaian pramukaku yang menggantung di jemuran sederhana yang kita buat dari tali pramuka. Semua teman-temanku memperhatikan aku dengan sedikit bengong, “Rul, kamu mau ke mana kok buru-buru banget terus kok pakai pakaian pramuka segala?”. Ku jawab pertanyaan mereka sembari aku ganti pakaianku itu, “iya nih, aku mau latihan upacara nanti malem, maaf ya aku tinggal kalian.” “Iya Rul, gak papa,kamu belum makan kan Rul? Makan dulu sana!”. “Emmmh, gak usah deh gak papa kok, aku buru-buru nih”. Setelah semuaku pakai atribut pramuka aku bergegas menuju lapangan. Tampak sedikit berantakan sih, tetapi tak apalah bisa kuperbaiki di sana. Setelah itu, kami langsung di ajarkan praktik lari ketika membawa obor dan tata cara keseluruhan. “Waktu latihan kita hanya sampai maghrib, jika kalian sampai adzan maghrib belum bagus kalian harus membayar saya dengan satu kali kesalahan satu seri, dua kali kesalahan dua seri. Siap mengerti?” “Siap mengerti”. Kami menjawab dengan kompak serentak. Setelah proses latihan di mulai kami sering sekali melakukan kesalahan, kami pun mengumpulkan pundi-pundi seri banyak sekali. Kesalahan di mulai dari hal yang terkecil, sedikit kita tidak konsentrasi pun, dapat membuyarkan semuanya. Aku pun sering melakukan kesalahan, kesalahanku adalah, aku sering lupa menurunkan oborku ketika disalurkan ke obor sebelahku, “Rul, kamu itu gimanae bisa konsen gak? Mikirin apa kamu tu? Kita latihan cuma sebentar lo!”. Bentak Yorici kepadaku. “iya iya aku tahu, maaf gak kuulangi lagi kok nanti”. Sejak saat itu aku merasa sebel sama Yorici ketika itu. Dia selalu mengataiku agar aku tidak lupa. Aku merasa bosan dengan ucapan Yorici yang seperti itu. “Rul, inget lo jangan lupa lagi!” “Kamu bisa diem gak e Yor?”. Aku padahal sudah tidak melakukan kesalahan lagi. Ya sudah, ketika Yorici berbicara ke aku, aku hiraukan saja dia. Adzan maghrib pun berkumandang, hatiku merasa berdegup sangat kencang , tidak karuan, seperti rebana yang dipukul sekeras-kerasnya. “Yak, waktu kalian sudah habis. Saya merasa kalian belum maksimal dalam latihan tadi. Kalian bisa serius tidak?”. Bentak kak Dicky. “Siap bisa kak!”, kami pun menjawabnya dengan lirih. “Mending kalau kalian tidak bisa maksimal, tidak bisa bagus, kakak tiadakan saja penyalaan api dasadharma nanti! Mau kalian? Di sana kalian bisa diibaratkan sebagai artisnya. Jadi jika ada kesalahan kecil saja, maka akan berantakan semuanya. Paham! “ “Siap paham”. “Oke, sekarang kalian sholat maghrib dulu, terus makan malam di ruang kesekretaritan, kalian malam ini dapat jatah makan dari kami. Dan kalian punya satu kali kesempatan untuk gladi bersih, setelah kalian makan malam! Jelas semuanya?”, jelas kak Dicky dengan tegas. “Siap jelas!”.
Sholat maghrib beres, makan malam beres, kami ber-10 sudah bersiap untuk gladi bersih. Gladi bersih yang dilakukan hanya dua kali itu berjalan lancar, seperti jalan tol. Detik-detik upacara puncak pun berjalan cepat menghampiri kita. Sepuluh patok dipasang guna untuk tanda sekaligus tempat meletakkan obor kita nanti. Kami dengan serius melakukan gladi bersih ini. Dan lagi-lagi dia berkata, “Rul, nanti jangan sampai lupa lho. Nanti bisa-bisa malu-maluin kita!”. “Masya’ Allah, aku harus bilang berapa kali ke kamu, biar kamu diem. Dah to diem aja kamu tu! Jangan mbuat mood orang jelek, nanti bisa kacau!” “iya iya, tapi inget lo!”. Adzan Isya’ berkumandang, semua peserta upacara diperintah untuk melakukan sholat Isya’ terlebih dahulu, setelah itu baru dilaksanakan upacara puncak. Tetapi kami para petugas upacara sholatnya nanti setelah upacara selesai. *Semua sudah melaksanakan sholat Isya’*, upacara pun di mulai, kami para petugas bersiap-siap dan menyiapkan diri untuk memberikan yang terbaik dalam acara puncak pada malam hari ini. Kami pembawa obor 10 api dasadharma, sebelum meluncur di lapangan diberi wejangan terlebih dahulu, “Kalian tidak usah gugup, santai aja. Tidak usah terburu-buru. Ingat kalian adalah artis pada malam hari ini. Jangan terlalu cepat dalam jedanya, ditakutkan nanti apinya malah mati,” nasihat kak Teguh terus mengalir bagaikan air sungai yang pasti mengalir dengan tenang dan tegas. “Bisa dimengerti?” “Siap mengerti!”. Kami diberi satu gelas air hangat untuk disiramkan dimuka kami *ya tidaklah*, kami diberi air hangat untuk diminum agar tenggorokan kami lebih terasa plong dan tidak kering. Oke semua sudah siap meluncur seperti roket yang ingin lepas landas, dan itu dalam hitungan mundur kita akan meluncur. *3…2…1…*. Protokol berkata, “penyalaan api dasadharma”. Hatiku *dag dig dug dag dig dug*. Aku gerogi kenapa? Karena aku memikirkan, apabila nanti sepatuku copot di tengah jalan gimana? Kalau topiku jatuh gimana? Kalau nanti aku kepleset gimana? *pikiranku sudah kemana-mana*. Dan itulah yang membuatku gerogi. Ya sudahlah jalani saja, bissmillah pasti aku bisa. Rausan memberikan aba-aba kepada kita,”Posisi, lari maju.. jalan.” *Brok brok brok brok brok….* suara serentak sepatu kita, ketika kita menuju sekumpulan kayu guna dinyalakan untuk api unggun. Suasana mencekam, larut dalam keheningan, semua terpana akan atraksi kita menyalakan dan yang paling utama adalah pengucapan 10 dasadharma. Berpuluh-puluh pasang mata tertuju kepada kita. Ketika sampai penyalaan api urutan yang ketujuh, hatiku semakin tak karuan berdegup, seperti kembang api yang dinyalakan ketika malam tahun baru datang *duuuar duuuuar*. Tibalah saatku bereaksi, aku hadap ke kiri, guna menyalurkan oborku ke obornya Yorici untuk menyalakan api. Setelah apinya tersalur aku berkata dengan lantang, tanpa patah-patah, kuangkat obor yang disertai api yang menjilat-jilat setinggi-tingginya seraya aku berkata, “disiplin, berani, dan setia”. Kemudian kusalurkan ke orang selanjutnya dan sama seperti aku tadi. Setelah semua obor menyala, kemudian Rausan memberi aba-aba untuk meletakkan obornya dan ditancapkan diatas patok yang telah dipasang tadi. “Ssssst…”, itulah aba-aba untuk meletakkan obor dan tanda kita untuk berdiri. Panah dari atas pun meluncur dengan sangat mulus dan memecahkan plastik yang berisikan minyak tanah untuk mengguyur kayu-kayu itu. Dan dengan seketika *brrrruuuush* panah dengan api diujungnya meluncur, dan nyalahlah api unggun kita.
Dapat kalian bayangkan betapa kerennya aksi ketika kakak pemangku adat (kak Hima) itu melepaskan anak panahnya ke bawah. *wow sekali pasti*. Setelah api menyala, kami pun memutari api unggun itu sekali, dan balik lagi ke tempat semula awal kita berbaris. Kakak purna pun, memberikan selamat atas keberhasilan kita atas menyalakan 10 api dasadharma itu dengan sempurna. “Keren sekali dek, selamat ya atas hasil kerjasama kalian!” begitu ucapan kak Il kepada kita yang telah setia menunggu kita. “Iya kak, makasih ya kak!” kompak jawab kami. Kami pun bersalaman satu sama lain, simbol dari ucapan terimakasih kepada sesama teman. Kami ber-10 kumpul jadi satu, dan menumpuk kedua tangan kami disatu titik dan berteriak, “BARA…. JAYA!”. Semua bertepuk tangan atas keberhasilan kita semua. Bahkan si Diah dan Lisfy pun menyuruh kita untuk sujud syukur. “Ayo sujud syukur bareng-bareng”. “Telat Yah, telat. Harusnya tadi *zzzzzzt*”, sahut Putri dengan nada celelekannya itu. “Hahahaha iya Yah, pie e Yah?”, tambahku. “Hahahahahaha… :D”, semua tertawa bahagia pada saat itu. Dan pengalaman sebagai pembaca dan pembawa obor api 10 dasadharma ini, hanya sekali seumur hidup lho kawan. Jadi inilah pengalaman yang unik dan tak terlupakan.
*potretan kecil keluarga pramuka*








Nama : Nurul Hidayati
Kelas : Xa
Nomo r : 13
Tugas : cerpen










  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar