Oya tadi aku di atas bicara kalau hanya sebagian besar murid saja
yang mengikuti kegiatan ini. Tahu kenapa? *Gak tau? Mau ku kasih tau gak?
Gak mau? Ya sudah*. Jadi gini, karena acara yang satu ini, bertabrakan
dengan salah satu kegiatan sekolah juga. *sindir kegiatan ini yang
berinisialkan “OSN”*. Jadi tidak semua murid kelas 10 tidak dapat
mengikuti kegiatan ini (Mahabhakti). Padahal kan mahabhakti merupakan salah
satu kegiatan pramuka yang hukumnya wajib untuk diikuti oleh semua murid kelas
10. Tapi apa daya tangan tak sampai memeluk gunung. Bagi teman-teman yang sudah
tersaring untuk mengikuti OSN tidak dapat berpaling dari OSN itu. Sebenarnya
aku sudah kembung dengan cerita hal yang bersangkut paut dengan OSN ini. Tapi
bagaimana, dengan adanya hal itu anggota di sangga saya berkurang dua manusia.
Jadilah kita berlima berjuang dan melewati empat hari dan menikmati malam di
tenda itu dengan beranggotakan lima wanita saja.
Sebelumnya aku akan memperkenalkan anggota sanggaku yang
sesungguhnya. Pada awalnya kita bertujuh, dengan personil Nisa,
Karlina, Linda, Lika, Norma, aku sendiri (Nurul), dan Ries. Dan sebelum jatuh
tepat pada hari kita melaksanakan Mahabhakti dua orang lengser karena terjaring
dalam OSN. Manusia-manusia itu bernama Nisa dan Linda. Oke tak apalah hanya dua
orang yang menghilang dengan sebab yang jelas itu. Dengan berkurangnya anggota
sanggaku itu, pada awalnya aku berpikiran dan membayangkan aku tidak bisa
melewati hari-hari ketika kemah dengan baik. Ketika tekhnikal meeting kedua
badanku terasa seperti berdampingan dengan tungku api yang merebus
kedelai-kedelai calon tempe. Setelah meeting itu selesai,
semua orang hilang seketika. Kecuali aku yang duduk sendirian di bagian
belakang kelas sembari merundukkan badan dan kepalaku yang terasa seperti
tertindih tumpukan buku PR yang sangat banyak. Aku memikirkan sesuatu waktu
itu, sampai-sampai ada salah seorang berpostur badan tinggi, dan menggunakan
tas hitam yang melekat pada badannya lalu menghampiri aku. Dia adalah kakak
kelas. Dia sekarang kelas 11 dan masuk dijurusan 11 ipa 3. “Dek, kamu
kenapa? Sakit po?”. Pertanyaan itu tidakku gagas sama sekali, “Dek?
Ayolah dek, kamu pasti bisa menjalani Mahabhakti, walaupun cuma lima orang
aja”. Ya, dia sudah paham akan masalah yang merundungku pada saat itu,
karena aku kerap kali bertukar pikiran dengan dia. Aku pun perlahan-perlahan
menegakkan badan, dan mulai memperhatikan suara yang telah melintas di
telingaku itu. “Emmmh, gimana ya? Kok aku ketoke gak bersemangat buat
ikut kemah kali ini ya?”. “Masa dengan masalah kaya gini aja, kamu
udah lemes kaya gini dek? Kamu gak malu po sama temen-temenmu yang lain? Nurul
kan udah gede. Pasti kamu bisa ngehadepin hal sepele kaya gini dek! Ni ya
kukasih tau, ada satu sangga yang cuma empat orang lho dek. Mereka malah bisa
lebih semangat daripada kamu. Kamu mending punya anggota lima orang”. Suara-suara
itu terus terngiang dan terus melintas di otak dan telingaku. Aku pun merasa
tiba-tiba ada energi positif yang merasuki tubuh yang tak berdaya ini dan
kekurangan semangat ini. “Bener juga sih, ya aku coba buat kembali
semangat lagi kak”. Dengan masih ketidak percayaan dengan kata-kata
dia bahwa ada sangga yang beranggotakan empat orang itu. Sedikit malu-malu, aku
bertanya lagi dan untuk mempertegas kenyataan itu. “Kak beneran ada
yang empat orang doang?” “Iya dek, kakak gak bohong”. Lalu kucoba
untuk tersenyum kembali atas jawaban yang telah diucapkan dia. “Nah,
dari tadi gitu lho senyum. Kan jadi enak dilihatnya”. Dasar kak Vinna,
sukanya seperti itu. Yup, nama dia adalah kak Vinna.
*sampai mana nih aku lupa*. Oya, aku langsung lanjutkan
cerita yang tadi ya. Nah, tiba saatnya kita untuk pergi ke tempat perkemahan di
daerah Waduk Sermo, Kulon Progo. Setelah semuanya beres, aku berangkat ke
madrasah pada kurang lebih pukul enam pagi. Semua telah kumpul dan sebelum kami
diberangkatkan ke tempat kemah ada acara upacara pemberangkatan yang diikuti
oleh seluruh warga sekolah *ya enggaklah, gila aja*. Upacara
pemberangkatan dipimpin oleh kepala madrasah yaitu bapak Imam Suja’i Fadly.
Upacara berjalan dengan khidmat. Setelah upacara selesai truk-truk atau mobil
dari kepolisian mulai berdatangan untuk menangkap anak yang bersalah *enggak
deng bercanda*. Kita menuju ke tempat perkemahan menggunakan truk-truk
itu. Dan anak-anak yang sakit atau mempunyai riwayat hidup sakit asma, dan
sejenisnya diangkut menggunakan bus. Lalu kami dan ada beberapa dari kelas lain
masuk ke dalam truk. Aku dan teman-teman sekelasku masuk truk terlebih dahulu,
karena aku dan teman-temanku mengira-ira bahwa nanti pasti nanti kita akan
dapat angin yang berhembus sangat kencang jika kita di posisi yang paling
depan. Dan setelah beberapa menit kita masuk dan menetap di dalam truk,
perkiraan kita melenceng . Hawa di bagian paling depan sangatlah pengap. Ya
bagaimana lagi kita tidak bisa berpindah tempat lagi karena sudah sangat
berdesak-desakan. Dan jadilah aku dan salah seorang temanku *ha?
Temanku? Iya gak ya?*, ya aku sama si Laras hanya bisa bergumam karena
kepanasan dan merasa sangat pengap di sana. “Rul, tau gini tadi kita di
bagian paling belakang ya? Panaas banget di sini”. “Huhuhu ho.o Ras, tadi siapa
yang ngajak di depan hayoo?” “Loh bukannya tadi kesepakatan kita ya Rul? Kalau
kita harus di depan? Wah kamu kok labile Rul?” “Oh iya deng, aku lupa Ras.
Hehehee :p”. Padahal sebenarnya aku ingat perkataanku tadi, aku
pura-pura lupa supaya tidak diperpanjang oleh Laras, hehe :p.
Subhanallah, setelah truknya berjalan angin pun mulai berperan dan menghembus
ke pakaian pramuka kita. “Waaa, ini ni Ras, siliir to Ras.” . “Yaiyalah kalo
truknya udah jalan emang silir Rul”, jawab Laras dengan agak sewot. Di
sepanjang perjalanan kita terus bercanda. Oya kita satu truk dengan pradana
Alibasyah dan pradana Ratnaningsih lho. Kalian tahu tidak siapa
pradana AB dan RN kita? Mau tahu tidak? Oke terpaksaku kasih tahu ni *hehehe. Nama
pradana Alibasyah kita adalah kak Pandu Rijal Pasa, dan kakak pradana
Ratnaningsih adalah kak Vinna Amaluna. J Keren gak tu satu
truk sama mereka? *enggak ah biasa aja. *yaudah. Setelah
beberapa hari perjalanan *halah alay* , setelah beberapa jam
kemudian sampailah kita di lapangan, yang nantinya dilanjutkan dengan
perjalanan bhakti untuk menuju ke buper kita. Hari demi hari, jam demi jam,
detik demi detik, tanggal 23,24, Maret 2013 sudah kita lewati bersama dengan
kegilaan yang ikut meramaikan suasana di perkemahan pada waktu itu. Tanggal 25
pun datang menghampiri kita semua. Aku menyambut tanggal 25 itu dengan perasaan
senang dicampur deg-degan. Kenapa? Ya karena nanti malam
merupakan acara puncak dari kegiatan Mahabhakti ini. Yaitu acara api unggun,
yang didalam rangkaian acara itu ada penyalaan 10 api dasadharma. Dan aku
adalah salah satu manusia yang beruntung menjadi pembaca salah satu dari 10
dasadharma itu. Pada hari itu kegiatannya tidak terlalu padat seperti hari-hari
biasannya. Pada siang harinya kami DA (dewan ambalan) perempuan kelas 10,
bersantai di dekat jurang, dan duduk di bawah pohon yang sedikit rindang,
tetapi mampu membuat suasana menjadi sejuk J. Sejauh mata memandang,
terlihat gundukan-gundukan gunung yang dilebati oleh pohon-pohon yang masih
bewarna hijau itu. Itulah salah satu bumbu yang membuat kita betah untuk
berlama-lama duduk dan bersantai di sana. DA perempuan kelas 10 ada enam orang
saja, yaitu saya sendiri, kak Grandis, Lisfy, Agnes, Diah, dan kak Putri. Di
tengah-tengah kita bercurhat ria di sana (kita curhat tanpa kak Agnes),
datanglah kakak purna yang maha Purwa *apa itu?* (paling
berumur) menghampiri kita yang tujuan awalnya kakak ini ingin datang ke perkumpulan
para dewan anggota kerja. Tetapi kakak ini malah ikut ngobrol
dan curhat bersama kita. Beliau adalah kak Ilham, yang kerap kita sapa dengan
sapaan kak Il. “Loh ngapain kalian di sini? Gak masak po?” tanya kak Il
ke kita. Aku pun menjawab pertanyaan satu itu “ enggak kak, nanti kita
masaknya, kita sekarang santai dulu..”. “Loh kak Il, kok jadi
ikut-ikutan nongkrong di sini kak? Gak rapat po kak sama sangker?” tanyaku
dengan rasa yang penuh keingin tahuanku ini *kepo :p*. “Emangnya gak
boleh?” balas kak Il dengan nada yang khas yang kaya anak kecil itu. “hahahahaha,
ho.o emang gak boleh Rul?” semua temanku jadi ikut ngejek aku.
Dan secara spontan kak Il mengeluarkan jurus andalannya ketika itu. Yaitu nge
bully kita yang ada di situ. Korban sasaran yang paling utama adalah
aku. “Rul, Pasa mana Rul? Kok gak da di sini?” goda kak Il ke
aku. “cieeeee..” tambah semua teman-temanku. “Loh? Kok
tanya aku kak? Ya aku nggak tahulah kak”. Jawabku dengan polos *memang
aku tidak tahu posisi mas Pasa di mana*. “Haaalah, di mana Rul?”. Aku
pun hanya bisa diam saja. Lalu korban selanjutnya adalah kak Grandis. “Ndis,
Asyrof mana Ndis?”, dengan cara khasnya Grandis menjawab dengan
senyum-senyum malu “yo manaku tau kak.” Dan tanpa di sangka-sangka
mas Pasa lewat dan dipanggilah dia oleh kak Il agar duduk bersama kita. Nah,
semakin menjadi-jadilah bullyan kak Il dan semua teman-temanku
ke aku. Lalu kak Il memanggil mas Pasa dengan kebasa-basiannya itu, “ Sa Pasa,
sini dulu.” Lalu mas Pasa dengan polos dan santainya memenuhi panggilan kak Il
itu. Di dalam hati aku bergumam “haduuuh mas Pasa kenapa mau dateng dengan
panggilannya kak Il itu sih? Padahal itu panggilan gak penting sih (-_-). “Apa
kak? “ tanya mas Pasa ke kak Il. “Enggak gak papa, kamu mau kemana Pas, udah
duduk sini dulu sama kita.” “Aku mau ke sana kak”. “Rul, ini lho kak Pasa, udah
di sini.” Aku hanya memandang pemandangan yang sangat indah dihadapan mataku.
Tak kuhiraukan perkataan kak Il. Mas Pasa pun pergi.
Setelah banyak obrolan yang telah kita lalui, adzan dzuhur pun
berkumandang. Kami langsung putuskan untuk pergi sholat berjamaah di pendopo
bawah dekat dengan tempat didirikannya tenda milik sangga yang Alibasyah.
Setelah sholat dzuhur kami putuskan untuk pergi ketendanya masing-masing untuk
makan siang. Aku beruntung tendaku dekat dengan tenda milik Grandis. Hanya
terpisah satu tanjakan dan terhalang oleh satu tenda milik Agnes. Aku pun
mengajukan usul ke Grandis agar kita makan siang bersama. Karena anggota
sanggaku dan sangganya Grandis sudah makan siang semua, kecuali kita berdua. “Ndis,
kita makan siangnya barengan yuuk?” “Ya ayo, tapi kita mau makan pakai apa
Rul?” “Mbikin mie aja Ndis, tapi nanti kita makannya satu piring berdua ya? *kurang
romantis apa coba*. “Oke Rul, tapi kamu nyumbangin mie mu juga ya?”
“pastilah Ndis”. Setelah mie goreng kita matang, kita langsung bingung
terus kita tinggal tidur . *ya enggaklah*. Kita bingung
mau makan di mana. *ribet banget ya kita*. “Rul, kita makan di depan
tenda mu aja gimana?” “oke, ayok ke atas” jawabku. Setelah sampai di
atas, “waah Ndis, panas banget je. Kita cari tempat yang agak teduhan yok?”
“iya Rul, panas di sini”. Kita berjalanlah mencari tempat untuk posisi
makan tempat duduk kita. Setelah berjam-jam *alay*, setelah sekian lama
kita mencari tempat akhirnya kami menemukan tempat yang sangat romantis untuk
kita berdua singgahi *hahaha :D*. “Ndis, kalau kita di sana aja
gimana?” “Boleh juga Rul? Tapi nanti kita diliatin sama orang-orang gak ya
Rul?” “Halah, gak papa cuma diliatin kok”. Yap, kami sudah
putuskan untuk duduk dan makan siang bareng di samping wisma kosong itu. Karena
tenda kami lumayan dekat dengan wisma itu. Lalu kami menikmati mie goreng itu,
di dekat jendela wisma yang lumayan besar itu. Ketika aku dan Grandis makan,
aku iseng menengok ke dalam wisma itu lewat jendela yang berada persis di
samping kiriku. Di dalam wisma itu tampak banyak orang yang berlalu lalang, dan
ada yang menyapaku. *Gila, orang di sana kosong kok hehe :p*. Setelah kita
menyelesaikan makan siang kita yang mewah itu :p, kita langsung tancap gas
untuk balik ke tenda dan mencuci piring. Setelah kita selesai, aku bermain ke
tendanya Grandis untuk meminta sedikit air putihnya, karena aku ingin membuat
minuman, “Rul, ayo kita ke samping jurang sambil minum-minuman kita?” “Oke
siap..”. Sepertinnya seru juga usulan Grandis itu. Di sana curhatlah
Grandis ke aku tentang teman dekatnya Grandis. Aku simak dengan telinga
lebar-lebar curhatan Grandis itu. Aku beri masukan, kritik dan saran ke
Grandis. Tiba-tiba lewat speaker ruang kesekretariatan
mengumumkan suatu pengumuman yang terpampang nyata *lagak Syahrini bercakap*,
“Panggilan untuk Grandis, Nurul, Lisfy, Putri, Diah, Adit, Hilman, Rausan, dan
Yorici untuk segera berkumpul di lapangan “. Pengumuman itu diucapkan sebanyak
dua kali. Aku boleh jujur? Aku merasa senang dan bangga namaku bisa disebutkan
di sana *alay biarin*. Aku dan Grandis yang sedang sibuk bercengkrama di
dekat jurang, sedikit kaget atas pengumuman itu. Kami pun bergegas menuju
lapangan. Setelah kami bersepuluh berkumpul semua, kak Il mulai menjelaskan
bagaimana tata cara upacara nanti malam. Oya sebelum aku lanjutin, kalian tahu
tidak mengapa kita 10 orang ini dipanggil ke lapangan? Buat dihukum karena kami
melakukan kesalahan *ya tidaklah*. Kami 10 orang dipanggil ke lapangan
karena nanti malam adalah acara puncaknya, yaitu acara api unggun dan penyalaan
10 api dasadharma *yuhuuu* .
Setelah tekhnikal berlangung sebentar, tiba-tiba suara adzan
berkumandang. Kak Il putuskan dan menganjurkan kepada kami agar kita
melaksanakan sholat ashar terlebih dahulu, dan kemudian kembali berkumpul di
lapangan lagi. *Setelah semua selesai sholat*, “Ya tidak usah panjang lebar
lagi, sekarang kalian akan berlatih upacara penyalaan 10 api dasadharma, yang
akan dilatih langsung oleh kak Dicky ”. “Wooow..”. Semua
serentak mengucapkan seperti itu. Kak Dicky pun tiba, “Ya sekarang saya akan
membagi masing-masing satu dasadharma kepada kalian”, setelah semua
dapat satu dasadharma itu semua langsung disuruh berlatih untuk mengucapkan
dasadharma itu dengan lantang dan keras. Dan saya mendapatkan dasadharma ke 11.
*Gimana coba bunyinya?*. Ya, tidak adalah dasadharma ke-11. Namanya saja
dasadharma. Dasa yang artinya di dalam bahasa jawa, sedasa sama dengan 10. Jadi
dasadharma adanya ya hanya 10, 10 dasadharma. Kalau sampai sebelas namanya
bukan dasadharma dong, kira-kira nanti kalau berubah jadi 11,
namanya jadi apa ya? Ya, yang pastinya bukan dasadharma lagi, hehe :p. *oke
lanjut*. Aku mendapatkan bagian dasadharma ke delapan, yang bunyinya “DISIPLIN,
BERANI, dan SETIA”. *wuuush*, keren sekali kata-kata itu. Aku
berlatih ucapkan kata-kata itu secara berulang-ulang dan sangat lantang. *Harus
lantang dan keras*, karena nanti kita mengucapkan kata-kata itu tanpa pengeras
suara. Selang beberapa menit kemudian, tiba-tiba kak Dicky memberhentikan kami
semua untuk berlatih, “Yak, berhenti. Sekarang saya akan beri waktu buat
kalian mengganti pakaian kalian dengan pakaian pramuka lengkap dan rapi. Saya
akan beri waktu 10 menit, mulai dari sekarang!”. Tanpa komentar, tanpa
basa-basi lagi, tanpa bercakap-cakap dengan teman, kami secepat kilat yang
menyambar bumi, menyebar ke tenda masing-masing untuk mengganti pakaian kita.
Aku pun berusaha secepat mungkin untuk sampai ke tenda, setelah sampai di
tenda, kuserobot pakaian pramukaku yang menggantung di jemuran
sederhana yang kita buat dari tali pramuka. Semua teman-temanku memperhatikan
aku dengan sedikit bengong, “Rul, kamu mau ke mana kok buru-buru banget terus
kok pakai pakaian pramuka segala?”. Ku jawab pertanyaan mereka sembari aku
ganti pakaianku itu, “iya nih, aku mau latihan upacara nanti malem,
maaf ya aku tinggal kalian.” “Iya Rul, gak papa,kamu belum makan kan Rul? Makan
dulu sana!”. “Emmmh, gak usah deh gak papa kok, aku buru-buru nih”. Setelah
semuaku pakai atribut pramuka aku bergegas menuju lapangan. Tampak sedikit
berantakan sih, tetapi tak apalah bisa kuperbaiki di sana.
Setelah itu, kami langsung di ajarkan praktik lari ketika membawa obor dan tata
cara keseluruhan. “Waktu latihan kita hanya sampai maghrib, jika kalian
sampai adzan maghrib belum bagus kalian harus membayar saya dengan satu kali
kesalahan satu seri, dua kali kesalahan dua seri. Siap mengerti?” “Siap
mengerti”. Kami menjawab dengan kompak serentak. Setelah proses latihan di
mulai kami sering sekali melakukan kesalahan, kami pun mengumpulkan pundi-pundi
seri banyak sekali. Kesalahan di mulai dari hal yang terkecil, sedikit kita
tidak konsentrasi pun, dapat membuyarkan semuanya. Aku pun sering melakukan
kesalahan, kesalahanku adalah, aku sering lupa menurunkan oborku ketika
disalurkan ke obor sebelahku, “Rul, kamu itu gimanae bisa konsen gak?
Mikirin apa kamu tu? Kita latihan cuma sebentar lo!”. Bentak Yorici
kepadaku. “iya iya aku tahu, maaf gak kuulangi lagi kok nanti”. Sejak
saat itu aku merasa sebel sama Yorici ketika itu. Dia selalu
mengataiku agar aku tidak lupa. Aku merasa bosan dengan ucapan Yorici yang
seperti itu. “Rul, inget lo jangan lupa lagi!” “Kamu bisa diem gak e Yor?”. Aku
padahal sudah tidak melakukan kesalahan lagi. Ya sudah, ketika Yorici berbicara
ke aku, aku hiraukan saja dia. Adzan maghrib pun berkumandang, hatiku merasa
berdegup sangat kencang , tidak karuan, seperti rebana yang
dipukul sekeras-kerasnya. “Yak, waktu kalian sudah habis. Saya merasa kalian
belum maksimal dalam latihan tadi. Kalian bisa serius tidak?”. Bentak kak
Dicky. “Siap bisa kak!”, kami pun menjawabnya dengan lirih. “Mending
kalau kalian tidak bisa maksimal, tidak bisa bagus, kakak tiadakan saja
penyalaan api dasadharma nanti! Mau kalian? Di sana kalian bisa diibaratkan
sebagai artisnya. Jadi jika ada kesalahan kecil saja, maka akan berantakan
semuanya. Paham! “ “Siap paham”. “Oke, sekarang kalian sholat
maghrib dulu, terus makan malam di ruang kesekretaritan, kalian malam ini dapat
jatah makan dari kami. Dan kalian punya satu kali kesempatan untuk gladi
bersih, setelah kalian makan malam! Jelas semuanya?”, jelas kak Dicky
dengan tegas. “Siap jelas!”.
Sholat maghrib beres, makan malam beres, kami ber-10 sudah bersiap
untuk gladi bersih. Gladi bersih yang dilakukan hanya dua kali itu berjalan
lancar, seperti jalan tol. Detik-detik upacara puncak pun berjalan cepat menghampiri
kita. Sepuluh patok dipasang guna untuk tanda sekaligus tempat meletakkan obor
kita nanti. Kami dengan serius melakukan gladi bersih ini. Dan lagi-lagi dia
berkata, “Rul, nanti jangan sampai lupa lho. Nanti bisa-bisa malu-maluin
kita!”. “Masya’ Allah, aku harus bilang berapa kali ke kamu, biar kamu diem.
Dah to diem aja kamu tu! Jangan mbuat mood orang jelek, nanti bisa kacau!” “iya
iya, tapi inget lo!”. Adzan Isya’ berkumandang, semua peserta upacara
diperintah untuk melakukan sholat Isya’ terlebih dahulu, setelah itu baru
dilaksanakan upacara puncak. Tetapi kami para petugas upacara sholatnya nanti
setelah upacara selesai. *Semua sudah melaksanakan sholat Isya’*, upacara pun
di mulai, kami para petugas bersiap-siap dan menyiapkan diri untuk memberikan
yang terbaik dalam acara puncak pada malam hari ini. Kami pembawa obor 10 api
dasadharma, sebelum meluncur di lapangan diberi wejangan terlebih dahulu, “Kalian
tidak usah gugup, santai aja. Tidak usah terburu-buru. Ingat kalian adalah
artis pada malam hari ini. Jangan terlalu cepat dalam jedanya, ditakutkan nanti
apinya malah mati,” nasihat kak Teguh terus mengalir bagaikan air
sungai yang pasti mengalir dengan tenang dan tegas. “Bisa dimengerti?”
“Siap mengerti!”. Kami diberi satu gelas air hangat untuk disiramkan
dimuka kami *ya tidaklah*, kami diberi air hangat untuk diminum agar
tenggorokan kami lebih terasa plong dan tidak kering. Oke
semua sudah siap meluncur seperti roket yang ingin lepas landas, dan itu dalam
hitungan mundur kita akan meluncur. *3…2…1…*. Protokol berkata, “penyalaan
api dasadharma”. Hatiku *dag dig dug dag dig dug*. Aku gerogi
kenapa? Karena aku memikirkan, apabila nanti sepatuku copot di
tengah jalan gimana? Kalau topiku jatuh gimana? Kalau nanti aku kepleset
gimana? *pikiranku sudah kemana-mana*. Dan itulah yang membuatku gerogi. Ya
sudahlah jalani saja, bissmillah pasti aku bisa. Rausan
memberikan aba-aba kepada kita,”Posisi, lari maju.. jalan.” *Brok
brok brok brok brok….* suara serentak sepatu kita, ketika kita menuju
sekumpulan kayu guna dinyalakan untuk api unggun. Suasana mencekam, larut dalam
keheningan, semua terpana akan atraksi kita menyalakan dan yang paling utama
adalah pengucapan 10 dasadharma. Berpuluh-puluh pasang mata tertuju kepada
kita. Ketika sampai penyalaan api urutan yang ketujuh, hatiku semakin tak
karuan berdegup, seperti kembang api yang dinyalakan ketika malam tahun baru
datang *duuuar duuuuar*. Tibalah saatku bereaksi, aku hadap ke kiri,
guna menyalurkan oborku ke obornya Yorici untuk menyalakan api. Setelah apinya
tersalur aku berkata dengan lantang, tanpa patah-patah, kuangkat obor yang
disertai api yang menjilat-jilat setinggi-tingginya seraya aku berkata,
“disiplin, berani, dan setia”. Kemudian kusalurkan ke orang
selanjutnya dan sama seperti aku tadi. Setelah semua obor menyala, kemudian
Rausan memberi aba-aba untuk meletakkan obornya dan ditancapkan diatas patok
yang telah dipasang tadi. “Ssssst…”, itulah aba-aba untuk meletakkan
obor dan tanda kita untuk berdiri. Panah dari atas pun meluncur dengan sangat
mulus dan memecahkan plastik yang berisikan minyak tanah untuk mengguyur
kayu-kayu itu. Dan dengan seketika *brrrruuuush* panah dengan
api diujungnya meluncur, dan nyalahlah api unggun kita.
Dapat kalian bayangkan betapa kerennya aksi ketika kakak pemangku
adat (kak Hima) itu melepaskan anak panahnya ke bawah. *wow sekali pasti*. Setelah
api menyala, kami pun memutari api unggun itu sekali, dan balik lagi ke tempat
semula awal kita berbaris. Kakak purna pun, memberikan selamat atas
keberhasilan kita atas menyalakan 10 api dasadharma itu dengan sempurna. “Keren
sekali dek, selamat ya atas hasil kerjasama kalian!” begitu ucapan kak
Il kepada kita yang telah setia menunggu kita. “Iya kak, makasih ya
kak!” kompak jawab kami. Kami pun bersalaman satu sama lain, simbol dari
ucapan terimakasih kepada sesama teman. Kami ber-10 kumpul jadi satu, dan
menumpuk kedua tangan kami disatu titik dan berteriak, “BARA…. JAYA!”. Semua
bertepuk tangan atas keberhasilan kita semua. Bahkan si Diah dan Lisfy pun
menyuruh kita untuk sujud syukur. “Ayo sujud syukur bareng-bareng”.
“Telat Yah, telat. Harusnya tadi *zzzzzzt*”, sahut Putri dengan nada celelekannya itu.
“Hahahaha iya Yah, pie e Yah?”, tambahku. “Hahahahahaha… :D”,
semua tertawa bahagia pada saat itu. Dan pengalaman sebagai pembaca dan pembawa
obor api 10 dasadharma ini, hanya sekali seumur hidup lho kawan.
Jadi inilah pengalaman yang unik dan tak terlupakan.
*potretan kecil keluarga pramuka*
Nama
: Nurul Hidayati
Kelas
: Xa
Nomo r
: 13
Tugas
: cerpen
0 komentar:
Posting Komentar